![]()
Oleh: Pdt. Yanvantius Tulai, M.Th
Setelah mencermati perdebatan yang viral di berbagai media sosial mengenai pertanyaan: “Apakah penyaliban Yesus Kristus itu rencana Allah Bapa, atau rencana Iblis?”, saya merasa tergerak untuk menulis artikel ini. Saya sangat menghargai pandangan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, sebab masing-masing memiliki semangat untuk menyampaikan pesan Alkitab sesuai dengan perspektif dan pemahaman mereka.
Saya pun menyadari bahwa di sinilah kita melihat kedalaman dan kekayaan isi Alkitab, yang selalu menghadirkan ruang studi mendalam dan tidak pernah habis digali. Perbedaan cara pandang ini bukanlah tanda bahwa Alkitab bertentangan, melainkan menunjukkan betapa luasnya dimensi kebenaran firman Allah.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan penjelasan yang seimbang, dengan tetap menghormati pandangan dari kedua pihak. Sebab yang jauh lebih penting daripada perbedaan tafsir adalah keyakinan bersama bahwa kelahiran, penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Kristus ke surga merupakan karya Allah yang membawa keselamatan dan hidup kekal yang pasti bagi setiap orang percaya.
1. Rencana Allah Sejak Kekal
Sejak awal penciptaan, Alkitab telah memberi indikasi bahwa penyaliban Kristus adalah rencana Allah yang sudah ditentukan sebelum dunia dijadikan.
Kejadian 3:15 disebut sebagai protoevangelium atau Injil pertama. Dalam nubuat ini, Allah menyatakan bahwa keturunan perempuan akan meremukkan kepala ular, sementara ular akan meremukkan tumitnya. Ini menubuatkan penderitaan Mesias sekaligus kemenangannya atas Iblis. Gerhard von Rad menekankan bahwa ayat ini membuka horizon sejarah keselamatan, di mana Kristus tampil sebagai keturunan perempuan yang mengalahkan kuasa dosa. Dengan kata lain, salib bukan rencana mendadak, tetapi janji Allah sejak kejatuhan manusia.
Yesaya 53 menyebut Hamba yang menderita, ditolak, dihina, dan mati sebagai korban penebus dosa. James Montgomery Boice menyatakan bahwa nubuatan Yesaya ini adalah “puncak teologi Perjanjian Lama” yang mengantisipasi karya salib Kristus. Artinya, nubuat ini memberi konfirmasi bahwa penderitaan Mesias adalah kehendak Allah sendiri, bukan sekadar akibat konspirasi manusia.
Kisah Para Rasul 2:23 secara eksplisit menyebut bahwa Yesus diserahkan “menurut maksud dan rencana Allah”. Hal ini menegaskan kedaulatan Allah di balik peristiwa salib, meskipun dijalankan oleh tangan orang-orang durhaka.
Para teolog juga menegaskan hal ini. Anselmus dari Canterbury dalam Cur Deus Homo (Mengapa Allah Menjadi Manusia) menjelaskan bahwa penebusan melalui salib bukanlah kebetulan, melainkan kebutuhan ilahi untuk memuaskan keadilan Allah. Menurut Anselmus, hanya dengan pengorbanan Kristus yang sempurna, Allah yang adil sekaligus penuh kasih dapat mengampuni manusia tanpa mengorbankan sifat-Nya yang kudus. Hal ini menekankan bahwa salib adalah bagian dari rancangan Allah, bukan kebetulan.Calvin menambahkan bahwa penderitaan Kristus adalah bagian dari ketetapan kekal Allah. Bagi Calvin, salib adalah puncak dari karya Allah dalam sejarah: sebuah bukti bahwa Allah memegang kendali penuh bahkan atas peristiwa yang paling tragis. Dengan demikian, salib adalah pusat rencana keselamatan sejak kekal.
2. Sikap Iblis terhadap Salib
Jika salib adalah rencana Allah, bagaimana dengan peran Iblis? Alkitab menunjukkan bahwa Iblis bukanlah perancang salib, melainkan justru berusaha mencegah Yesus menuju kayu salib, sebab ia tahu bahwa salib akan menghancurkan kuasanya.
Matius 16:23: Ketika Petrus menolak gagasan penderitaan dan kematian Yesus, Yesus berkata kepadanya, “Enyahlah Iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Yesus mengidentifikasi suara di balik Petrus sebagai Iblis, karena mencegah jalan salib adalah strategi kuasa kegelapan. Hal ini memperlihatkan bahwa Iblis berusaha menyingkirkan salib dari rencana Kristus. R. T. France menegaskan bahwa ucapan Yesus kepada Petrus adalah pengungkapan bahwa di balik godaan untuk menghindari penderitaan terdapat kuasa setan yang mencoba menggagalkan misi penebusan.
Lukas 22:3, 53: Dicatat bahwa Iblis masuk ke dalam Yudas untuk mengkhianati Yesus. Yesus sendiri berkata kepada para penangkap-Nya, “Inilah saat kamu berkuasa, dan inilah saatnya kuasa kegelapan itu.” (Luk. 22:53). Ini menunjukkan bahwa peran Iblis dalam penyaliban bersifat aktif—ia mendorong Yudas dan para pemimpin Yahudi. Namun, pada saat yang sama, peristiwa itu tetap berjalan di bawah kedaulatan Allah. Leon Morris menekankan bahwa meskipun kuasa kegelapan terlihat berkuasa, sebenarnya mereka tidak pernah lepas dari kendali Allah.
1 Korintus 2:8: Paulus menulis, “Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab kalau sekiranya mereka mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang mulia.” Ayat ini menyingkapkan bahwa Iblis dan para penguasa dunia tidak memahami hikmat Allah. Mereka mengira menyalibkan Yesus berarti kemenangan, padahal justru itu jalan menuju kekalahan mereka sendiri. Gordon Fee menegaskan bahwa salib adalah “ironi ilahi terbesar,” karena apa yang dianggap kelemahan dan kebodohan justru adalah kuasa Allah yang menyelamatkan.
Augustinus menggambarkan Iblis sebagai “simia Dei” (peniru Allah). Ia berusaha meniru, menentang, dan mengacaukan pekerjaan Allah, namun akhirnya Allah memakai kejahatannya untuk mendatangkan kebaikan. Penjelasannya menunjukkan bahwa Iblis tidak memiliki rencana orisinal; ia hanya bisa memelintir rencana Allah, dan ironisnya, justru dipakai Allah untuk menggenapi maksud ilahi.
Martin Luther menekankan paradoks salib dengan istilah Deus absconditus (Allah yang tersembunyi). Dalam kelemahan Yesus, kuasa Allah dinyatakan; dalam kematian, kehidupan diberikan; dan di tempat yang tampak sebagai kemenangan Iblis, justru terjadi kekalahannya. Penjelasan Luther ini memperlihatkan bahwa Iblis salah membaca salib—ia mengira kemenangan ada di pihaknya, padahal salib justru adalah instrumen kekalahannya.
Dengan demikian, peran Iblis terhadap salib bersifat ambigu: di satu sisi ia ingin mencegah salib, namun di sisi lain ia dipakai Allah untuk mendorong proses yang justru menghancurkan dirinya sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Yohanes 12:31–32, salib adalah saat penghakiman atas dunia dan pengusiran “penguasa dunia ini.”
3. Rekonsiliasi Dua Perspektif
Pertanyaan “Apakah penyaliban Kristus rencana Allah atau rencana Iblis?” tidak dapat dijawab secara hitam putih. Alkitab justru memperlihatkan adanya dua lapisan realitas: di satu sisi, salib adalah buah konspirasi manusia berdosa dan kuasa kegelapan; di sisi lain, salib adalah rancangan Allah sejak kekekalan.
Kolose 2:15 menegaskan: “Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka di dalam Kristus.” Paulus menafsir salib bukan sebagai kekalahan Yesus, melainkan kemenangan mutlak atas kuasa jahat. Craig Keener menjelaskan bahwa Paulus memakai bahasa parade kemenangan Romawi: kuasa-kuasa jahat dipermalukan di hadapan semua orang. Artinya, yang awalnya tampak sebagai kemenangan Iblis justru berubah menjadi pengumuman kekalahannya.
N. T. Wright menegaskan: “The cross is the moment when the worst that evil could do was met by the best of God’s love and justice” (salib adalah saat di mana kejahatan paling besar bertemu dengan kasih dan keadilan Allah yang terbesar). Wright menekankan bahwa salib adalah titik konvergensi antara kejahatan dan kasih Allah—kejahatan mencapai puncaknya, tetapi justru di situ Allah mengalahkannya.
Jürgen Moltmann, dalam The Crucified God, menyatakan bahwa di salib, Allah sendiri masuk ke dalam penderitaan manusia. Salib tidak hanya menjawab masalah dosa, tetapi juga membuka realitas bahwa Allah tidak jauh dari penderitaan, melainkan hadir di tengahnya. Penjelasan ini penting karena menunjukkan bahwa rekonsiliasi antara rencana Allah dan perlawanan Iblis justru terjadi di dalam penderitaan Kristus.
Agustinus menegaskan bahwa Allah begitu berdaulat sehingga bahkan dosa dan rencana jahat dipakai-Nya untuk menggenapi karya keselamatan. Dengan kata lain, penyaliban Yesus adalah contoh paling nyata dari misteri providensi Allah: kejahatan tidak pernah mengalahkan Allah, melainkan dijadikan sarana untuk menggenapi maksud-Nya.
Dengan demikian, rekonsiliasi dua perspektif ini terletak pada kedaulatan Allah: manusia berdosa dan Iblis bermaksud jahat, tetapi Allah merancang kebaikan yang lebih besar melalui peristiwa yang sama. Hal ini sejalan dengan prinsip Kejadian 50:20, ketika Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan.”
4. Implikasi Teologis
Karya salib bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan realitas teologis yang memiliki implikasi luas bagi iman Kristen. Ada empat dimensi penting yang harus dicatat:
1. Implikasi Soteriologis (Keselamatan pribadi)
Hanya melalui salib, manusia memperoleh pengampunan dosa. Yohanes 14:6 menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Bapa. John Stott menulis: “The cross is the unique ground of salvation. Without it, there is no forgiveness, no reconciliation, no hope.” ((Salib adalah dasar keselamatan yang unik. Tanpanya, tidak ada pengampunan, tidak ada pendamaian, tidak ada pengharapan), Penjelasan Stott ini menunjukkan bahwa inti Injil bukanlah sekadar ajaran Yesus, melainkan kematian-Nya di kayu salib sebagai jalan keselamatan.
2. Implikasi Kosmologis (Kemenangan atas Iblis dan kuasa jahat)
Salib menandai kehancuran kuasa Iblis. Kejadian 3:15 digenapi di Golgota: tumit Kristus diremukkan, tetapi kepala ular dihancurkan. Leon Morris dalam The Apostolic Preaching of the Cross menegaskan bahwa penyaliban adalah “triumph over Satan,” yaitu momen ketika kuasa setan dilucuti total. → Artinya, salib bukan hanya berdampak pada manusia, tetapi pada seluruh tatanan kosmik.
3. Implikasi Eklesiologis (Kehidupan Gereja
Gereja lahir dari salib. Darah Kristus menebus umat dan mempersatukan mereka menjadi tubuh-Nya (Ef. 2:13–16). Dietrich Bonhoeffer berkata: “The church is only church when it is there for others, and this it learns under the cross.” (Gereja hanyalah benar-benar gereja ketika ia hadir bagi orang lain, dan hal ini dipelajarinya di bawah salib.)
Bonhoeffer menekankan bahwa identitas sejati gereja tidak bisa dipisahkan dari salib Kristus. Gereja yang lahir dari salib dipanggil untuk hidup dalam pengorbanan, pelayanan, dan solidaritas. Artinya, gereja bukan sekadar lembaga rohani, melainkan tubuh Kristus yang nyata bagi dunia, yang meneladani kasih pengorbanan Kristus di Golgota. Penjelasan Bonhoeffer ini berarti bahwa identitas gereja tida.k bisa dipisahkan dari salib: gereja sejati adalah gereja yang rela memikul salib, hidup dalam pengorbanan, dan melayani orang lain.
4.Implikasi Eksistensial (Makna penderitaan orang percaya)
Salib memberi makna bagi penderitaan orang percaya. Paulus menegaskan bahwa penderitaan bersama Kristus membawa kita pada kemuliaan (Rm. 8:17). Jürgen Jürgen Moltmann dalam The Trinity and the Kingdom of God menulis: “God is not a God who remains untouched by suffering, but a God who suffers with us.” (Allah bukanlah Allah yang tetap tak tersentuh oleh penderitaan, melainkan Allah yang menderita bersama kita) .
Moltmann ingin menunjukkan bahwa Allah dalam Kristus tidak jauh atau asing dari penderitaan manusia. Salib adalah bukti bahwa Allah sendiri masuk ke dalam penderitaan manusia dan turut merasakannya. Dengan demikian, orang percaya yang mengalami penderitaan tidak sendirian—Allah yang mereka sembah adalah Allah yang solider, Allah yang hadir, dan Allah yang berempati. Teologi Moltmann menegaskan bahwa penderitaan orang percaya mendapatkan makna baru: di bawah salib, penderitaan berubah menjadi jalan persekutuan dengan Kristus yang menderita.Dengan demikian, implikasi salib tidak hanya berbicara tentang keselamatan, tetapi juga tentang kosmos, gereja, dan kehidupan sehari-hari orang percaya. Salib menjadi pusat seluruh teologi Kristen.
Refleksi Pastoral
Artikel ini mengingatkan kita bahwa salib bukanlah tanda kegagalan, melainkan tanda kemenangan. Di Golgota, kita melihat betapa Allah mampu membalikkan kuasa dosa dan rencana jahat menjadi jalan keselamatan. Karena itu, kita tidak perlu takut menghadapi penderitaan, penganiayaan, atau bahkan kuasa kegelapan.
Sebagaimana Paulus berkata dalam Roma 8:31-32: “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”
Bagi jemaat masa kini, memandang salib berarti menemukan penghiburan di tengah penderitaan, pengharapan di tengah kegelapan, dan keyakinan bahwa Allah tetap berdaulat atas segala sesuatu. Salib memanggil kita untuk hidup dalam iman yang kokoh, pelayanan yang setia, dan kasih yang rela berkorban.
5. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyaliban Kristus bukanlah rencana Iblis, melainkan rencana Allah sejak kekal. Sejak Kejadian 3:15, Allah sudah menubuatkan kemenangan Mesias atas Iblis melalui penderitaan. Iblis memang berusaha menghalangi Yesus menuju salib (Mat. 16:23), namun ia tidak mampu menggagalkan rencana Allah. Bahkan justru melalui penyaliban, kuasa dosa dan Iblis dilucuti (Kol. 2:15).
Karl Barth menekankan bahwa salib adalah “Nein Gottes terhadap dosa dan sekaligus Ja Gottes kepada manusia” (penolakan Allah terhadap dosa, sekaligus ya Allah bagi keselamatan manusia). Dengan kata lain, salib adalah ekspresi kasih Allah yang menolak dosa tetapi menerima manusia yang berdosa melalui pengorbanan Kristus.
F. F. Bruce menjelaskan bahwa penderitaan Kristus adalah inti berita Injil, sebab “the gospel is not primarily a code of ethics, but the story of what God has done in Christ on the cross.” (Injil bukanlah terutama sebuah kode etik, melainkan kisah tentang apa yang telah Allah lakukan di dalam Kristus di salib.)
Penjelasan Bruce menegaskan bahwa kekristenan tidak boleh direduksi menjadi sekadar moralitas atau aturan etika. Inti Injil terletak pada karya penebusan Kristus di kayu salib. Dari saliblah lahir pengampunan dosa, rekonsiliasi, dan hidup baru bagi umat manusia.Penjelasan Bruce menegaskan bahwa inti kekristenan bukanlah moralitas, melainkan karya penebusan Kristus di Golgota.
John Piper menambahkan: “God is most glorified in us when we are most satisfied in Him—and the cross is the ultimate display of God’s glory and love.” (Allah paling dimuliakan di dalam kita ketika kita paling dipuaskan di dalam Dia—dan salib adalah pernyataan tertinggi dari kemuliaan dan kasih Allah.)
Pernyataan Piper ini menekankan bahwa salib bukan hanya pusat keselamatan, tetapi juga pusat kemuliaan Allah. Di kayu salib kasih Allah dinyatakan secara total, dan di situlah manusia menemukan kepuasan terdalam karena dosa ditebus dan hubungan dengan Allah dipulihkan. Teologi Piper menolong kita melihat bahwa kemuliaan Allah dan sukacita manusia berpadu sempurna di dalam karya Kristus di salib. Artinya, di kayu salib kasih Allah dan kemuliaan-Nya dinyatakan paling jelas, dan umat percaya dipanggil untuk hidup dalam kepuasan sejati yang bersumber dari karya Kristus.
R. C. Sproul mengingatkan bahwa salib bukan hanya lambang penderitaan, tetapi lambang keadilan Allah yang ditegakkan. Allah tidak mengabaikan dosa, melainkan menghukumnya di dalam Kristus, sehingga keselamatan yang kita terima tidak murah, melainkan ditebus dengan harga yang mahal.
Dengan demikian, penyaliban Yesus Kristus adalah pusat seluruh karya Allah dalam sejarah:
Bukan tragedi, melainkan kemenangan.
Bukan rencana Iblis, melainkan rancangan Allah yang kekal.
Bukan kekalahan, melainkan titik balik sejarah keselamatan.
Seperti yang ditegaskan Paulus dalam 1 Korintus 1:18: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.”
Salib adalah misteri kasih dan keadilan Allah. Iblis mencoba menghalanginya, manusia menyalibkan-Nya, tetapi Allah menjadikannya pusat kemenangan dan keselamatan bagi dunia.
Kata Penutup
Perdebatan mengenai apakah penyaliban Kristus merupakan rencana Allah atau rencana Iblis sejatinya menyingkapkan betapa dalamnya misteri karya Allah di dalam sejarah keselamatan. Dari penelusuran Alkitab dan pandangan para teolog, kita mendapati bahwa salib adalah rencana Allah sejak kekekalan, sementara Iblis berusaha menghalanginya karena tahu di situlah kuasanya dihancurkan. Namun, melalui kedaulatan Allah, bahkan niat jahat Iblis dan manusia dipakai untuk menggenapi karya penebusan yang agung.
Salib menjadi pusat iman Kristen: di sanalah kasih, keadilan, dan kemuliaan Allah berpadu secara sempurna. Salib bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan dasar keselamatan, tanda kekalahan kuasa kegelapan, fondasi gereja, serta sumber penghiburan bagi orang percaya di tengah penderitaan.
Tulisan ini mungkin masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan teologis yang pelik dan kompleks. Namun biarlah pertanyaan-pertanyaan itu menjadi bahan diskusi yang konstruktif dalam kelompok Pemahaman Alkitab, dengan semangat mencari kebenaran yang sejati, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Alkitab.
Kiranya artikel ini menolong kita untuk semakin melihat bahwa perdebatan teologis tidak semestinya memecah belah, melainkan memperkaya pemahaman kita akan kedalaman Injil. Yang terpenting, baik kita memahami dari sisi rencana Allah maupun melihat peran kuasa kegelapan, kita tetap sepakat bahwa melalui kelahiran, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus, Allah telah menyediakan keselamatan dan hidup kekal yang pasti bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.
Salib bukanlah kegagalan, melainkan kemenangan. Salib bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan baru yang kekal di dalam Kristus.
Daftar Pustaka
1. Anselm of Canterbury. Cur Deus Homo. Translated by Jasper Hopkins. Minneapolis: Banning, 1974.
2. Augustine. City of God. Translated by Henry Bettenson. London: Penguin Classics, 2003.
3. Augustine. Enchiridion on Faith, Hope, and Love. Translated by J. F. Shaw. Mineola, NY: Dover Publications, 2005.
4. Barth, Karl. Church Dogmatics IV/1: The Doctrine of Reconciliation. Translated by G. W. Bromiley. Edinburgh: T&T Clark, 1956.
5. Boice, James Montgomery. Foundations of the Christian Faith. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1986.
6. Bonhoeffer, Dietrich. Discipleship. Minneapolis: Fortress Press, 2001.
7. Bruce, F. F. The New Testament Documents: Are They Reliable? Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1960.
8. Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Translated by Henry Beveridge. Peabody, MA: Hendrickson Publishers, 2008.
9. Fee, Gordon D. The First Epistle to the Corinthians. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1987.
10. France, R. T. The Gospel of Matthew. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2007.
11. Keener, Craig S. The IVP Bible Background Commentary: New Testament. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1993.
12. Luther, Martin. Heidelberg Disputation (1518). In Luther’s Works, Vol. 31, edited by Harold J. Grimm. Philadelphia: Fortress Press, 1957.
13. Moltmann, Jürgen. The Crucified God. London: SCM Press, 1974.
14. Moltmann, Jürgen. The Trinity and the Kingdom of God. London: SCM Press, 1981.
15. Morris, Leon. The Apostolic Preaching of the Cross. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1965.
16. Morris, Leon. The Gospel According to Luke. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1974.
17. Piper, John. Desiring God: Meditations of a Christian Hedonist. Portland, OR: Multnomah Press, 1986.
18. Rad, Gerhard von. Genesis: A Commentary. Philadelphia: Westminster Press, 1972.
19. Sproul, R. C. The Holiness of God. Wheaton, IL: Tyndale House, 1985.20. Stott, John R. W. The Cross of Christ. Downers Grov